Syarat dan Kewajiban Imam
00.22
1. Wanita dilarang mengimami pria.
Dengan kata lain seorang lelaki tidak boleh bermakmum kepada wanita. 
Jabir ra. mengabarkan, Muhammad Rosulullah saiv. bersabda: "Janganlah
 sekali-kali seorang perempuan mengimami laki- laki. Janganlah seorang 
badui mengimami muhajir. Dan janganlah seorang pendurhaka mengimami 
orang mukmin, kecuali karena paksaan dari penguasa yang ditakuti 
cambukannya atau pedangnya." (HR Ibnu Majah)
2. Yang pantas menjadi imam adalah yang pintar membaca Al- Qur’an dan lebih memahami sunnah.
Mengapa? Sebab Imam dalam sholat sangat menentukan sah tidaknya sholat 
tersebut. Misalnya saja, jika bacaan Qur’an sang imam tidak tepat 
makhroj atau tajwidnya, maka akan mempengaruhi kekhusyu’an para 
makmumnya Abu Mas’ud Al- Anshori menuturkan, Rosulullah saw. bersabda, "Orang
 yang pantas jadi imam {sholat berjamaah) ialah yang paling pandai 
membaca kitabullah. Jika ternyata mereka sama pandai, maka yang paling 
alim (mengerti) tentang sunnah. Jika ternyata mereka sama alim, maka 
yang paling dahulu hijrah. Jika ternyata mereka bersamaan pula 
hijrahnya, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah kamu menjadi 
imam dalam wilayah kekuasaan orang lain, dan janganlah pula duduk di 
tempat yang disediakan khusus untuk kemuliaan seseorang kecuali dengan 
izinnya." (HR Muslim)
3. Imam haruslah orang yang baik.
Maksud kata "baik" di sini adalah merujuk pada akhlaknya, baik tutur 
katanya maupun tindakannya. Jika orang yang jadi imam kurang baik 
akhlaknya, sekalipun ’alim akan menimbul¬kan pikiran bukan-bukan pada 
sebagian makmum. Misalnya saja dalam diri makmum akan terlintas pikiran,
 "orang suka bohong atau mengingkari janji begitu dijadikan imam". 
Pikiran semacam itu dapat mengganggu kekhusyukan kita dalam sholat 
berjama’ah. Ibnu Abbas ra. menjelaskan, Muhammad Rosulullah saw. 
bersabda, "Pilihlah imam-imam kalian dari orang-orang baik di antara 
kalian, karena sesungguhnya mereka itu duta kalian, tentang apa-apa 
antara kalian dengan Tuhan kalian’’. (HR. Daruquthni)
4. Tamu tidak berhak menjadi imam.
Abu Athiyyah menceritakan, bahwa Malik Ibnu Huwairits selalu mendatangi 
mushollanya untuk mengajarkan hadits. Suatu hari saat waktu sholat tiba,
 Abu Athiyyah berkata kepadanya, "Majulah engkau (sebagai imam)". Malik 
menjawab, "Hendaklah salah seorang di antara kalian yang maju ke depan. 
Tahukah kalian mengapa aku tidak mau maju ke depan? Aku pernah mendengar
 Rosulullah sazo. bersabda: ’Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka 
janganlah ia mengimami mereka. Hendaklah salah seorang lelaki di antara 
mereka (kaum itu) yang menjadi imamnya’’. (HR. Ash-habus Sunan)
Apabila sang tamu lebih fasih bacaannya dan lebih ’alim, kemudian 
dipersilakan oleh tuan rumah menjadi iman, maka janganlah menolaknya. 
Dengan kata lain tamu itu harus mau menjadi imam karena atas permintaan 
tuan rumah.
5. Imam dianjurkan memeriksa barisan jama’ahnya.
Abas bin Malik ra. memberitahukan, Muhammad Rosulullah saw. apabila akan
 mengimami sholat melihat barisan para jama’ah di belakangnya dan 
bersabda, "Luruskan shof-shofkalian, karena lurusnya shof bagian dari 
kesempurnaan sholat". (HR. Muttafaq Alaih)
6. Imam dilarang panjangkan bacaan.
Abu Huroiroh ra. mengabarkan, Rosulullah saio. bersabda, "Apabila salah 
seorang di antara kamu mengimami sholat orang banyak, hendaklah ia 
memendekkan (bacaan) sholatnya, karena di antara makmum terdapat 
orang-orang tua dan orang yang lemah. Jika dia sholat sendiri, 
panjangkanlah (bacaan) sholatnya seberapa dia suka." (HR Muslim)
7. Ketika Nabi saw. berniat memanjangkan sholat.
Abu Qotadah ra. menginformasikan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, 
"Ketika aku berdiri hendak sholat, aku berniat hendak memanjangkan 
sholatku. Tetapi tiba-tiba terdengar olehku tangis bayi, maka 
kuringkaskan sholat itu. Sebab aku tidak ingin menyusahkan ibunya (yang 
turut bermakmum pada Nabi saw.)’’. (HR. Bukhori)
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi seandainya bayi itu menangis, 
kemudian sang imam memanjangkan sholatnya. Pasti tangis si bayi semakin 
menjadi-jadi. Tentu para jama’ah tak lagi mampu berkonsentrasi. Apalagi 
ibu si bayi pasti bimbang, apakah tetap melanjutkan sholatnya atau 
membatalkannya lalu kembali sholat sendiri.
8. Usai mengimami Nabi saw. menghadap para Jama’ah
Usai mengimami Muhammad Rosulullah saw. kadang duduk menghadap kepada 
para jama’ah, yang berarti membelakangi kiblat. Samurah bin Jundab ra, 
mengutarakan, "Apabila Nabi saw. usai mengimami, beliau menghadap kepada
 kami (para makmum)". (HR. Bukhori)
9. Adakalanya usai mengimami Nabi saw. menghadap kanan.
Terkadang usai mengimami Nabi Muhammad Rosulullah saw menghadap ke 
sebelah kanan. Itulah sebabnya sebagian sahabat jika berjama’ah senang 
duduk di sebelah kanan, karena bisa terlihat beliau. Al-Baro’ bin Azib 
ra. menyatakan, "Apabila kami bermakmum di belakang Rosulullah saw., 
kami senang berada di sebelah kanan beliau, sebab usai sholat beliau 
menghadapkan wajahnya ke arah kami". (HR. Muslim)
